Paradigma Pendidikan Murah

Paradigma pendidikan murah – Pendidikan murah masih menjadi paradigma bagi pihak yang terkait dengan dunia pendidikan di negeri ini. Terutama sekali pihak orangtua siswa  yang menjadi penanggung jawab biaya pendidikan anak. 

Apalagi di tengah kondisi perekonomian yang semakin tidak menentu. Kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), tarif dasar listrik (TDL) telah memicu kenaikan harga barang kebutuhan lainnya. Tidak hanya sampai di situ, bea dan jasa ikut-ikutan naik.

Jika semua harga barang, tarif, bea dan jasa  semakin melambung. Impian akan terwujudnya pendidikan murah semakin melayang jauh di angkasa. Orangtua yang memiliki anak usia sekolah akan banyak mengeluh dan mengurut dada. 

Ancaman anak akan putus sekolah sudah menganga di depan mata. Ini sangat tidak diharapkan untuk kelangsungan pendidikan anak.

Pemerintah sebenarnya tidak pernah tinggal diam.  Sejak beberapa tahun yang lalu telah berusaha mengantisipasi kemungkinan dampak perekonomian terhadap pendidikan anak. 

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengakomodir pendidikan anak. 

Anak yang berusia 7 sampai 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terlaksananya wajib belajar bagi anak minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Menindaklanjuti undang-undang  tersebut, pemerintah telah meluncurkan  sebuah program ekslusif  berupa BOS (Dana Operasional Sekolah).  

Program ini sudah sangat memasyarakat.  Tujuan program ini adalah untuk meringankan beban orangtua terhadap biaya pendidikan anak untuk menyukseskan program wajib belajar 9 tahun.

Sebagian orangtua yang membaca ketentuan dalam pelaksanaan BOS mengharapkan pendidikan di Indonesia akan gratis (?). 

Sebagian lagi menginginkan biaya pendidikan murah karena sebagian biaya operasional sekolah sudah  ditanggung oleh BOS.

Program pemerintah untuk membebaskan siswa dari pungutan ini belum dapat mencapai sasaran secara optimal. 

Dana BOS memiliki batasan-batasan sehingga tidak dapat mengakomodasi seluruh biaya pelaksanaan pendidikan di sekolah. 

Akibatnya, beberapa kebutuhan pelaksanaan pendidikan di sekolah masih dibebankan kepada orangtua siswa. 

Sementara itu, biaya kebutuhan harian dan perlengkapan sekolah anak tidak dapat diakomodasi oleh bantuan BOS. 

Kecuali, anak yang berasal dari keluarga kurang mampu dan rawan terancam putus sekolah. Siswa kategori ini harus dibebaskan dari berbagai pungutan dan mendapat bantuan perlengkapan serta kebutuhan harian sekolah.

Memang, jangkauan dana BOS sampai saat ini baru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hal ini sepertinya untuk menyukseskan Program Wajib Belajar 9 Tahun. 

Impian orangtua, program ini akan berlanjut pada wajib belajar 12 tahun yang memungkinkan bantuan BOS akan diterapkan juga pada jenjang SMA/Sederajat.

Sepertinya, ongkos pendidikan murah belum akan terwujud menjadi kenyataan. 

Iuran yang dipungut setiap tahun melalui komite sekolah belum akan berhenti selagi program peningkatan mutu sekolah masih jalan. 

Berbagai sumbangan masih terpaksa dipungut oleh pihak sekolah.

Namun diharapkan, pihak sekolah tidak terlalu memberatkan orangtua siswa dalam menetapkan besarnya iuran. 

Apalagi sampai memaksa orangtua, mengancam siswa untuk dikeluarkan dari sekolah. Ini adalah tindakan yang melanggar hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. 

Yang lebih penting, keputusan apapun untuk memungut iuran atau sumbangan yang dipungut pihak sekolah harus melalui musyawarah yang melibatkan semua unsur yang terkait pendidikan. 

Orangtua siswa, siswa (pengurus OSIS), guru, pemuka masyarakat, pemerintah setempat dan semua anggota komite perlu terlibat dalam menetapkan jenis dan besarnya iuran.

Program yang akan dijalankan haruslah jelas dan transparan. Semoga.***