Tahun Pelajaran Baru Identik dengan Uang (?)

Tahun Pelajaran Baru identik dengan Uang(?) – Pengumuman hasil Ujian Nasional (UN) di semua jenjang pendidikan sekolah telah usai. Itu bukan berarti prosesi pendidikan anak bearakhir pula sampai disitu.

Rangkaian proses pendidikan akan berlanjut dengan ujian kenaikan kelas,  penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun pelajaran baru 2013/2014.

Prosesi di atas bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan. Hal tersebut sudah berlangsung sejak dulunya sehingga orangtua yang mempunyai anak usia sekolah sudah siap siaga sebelumnya. 

Namun demikian, bercermin pada tahun-tahun sebelumnya, tahun pelajaran baru cenderung memunculkan 'kegalauan' tersendiri bagi sebagian orangtua, terutama yang  berasal dari ekonomi menengah ke bawah.

Di satu sisi, pemerintah mencanangkan Program Wajib Belajar  9 Tahun sejak beberapa tahun silam. Itu artinya, setiap anak Indonesia minimal menamatkan jenjang SLTP/Sederajat. 

Untuk menunjang program tersebut, pemerintah telah menyalurkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pertama.

Sebagian biaya operasional sekolah dibebankan kepada BOS. Disisi lain, jargon sekolah gratis yang didengungkan justru membuat sebagian orangtua berasumsi, semua biaya penyelenggaraan pendidikan diserahkan pada BOS sehingga orangtua tidak perlu mengeluarkan dana lagi (?).

Memang, BOS juga dialokasikan untuk biaya sekolah anak yang berasal dari keluarga kurang mampu.

Kebijakan ini telah melahirkan keluarga “kurang mampu baru” yang ditandai dengan surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari pihak tertentu. 

Entah bagaimana caranya, orang tua yang dipandang cukup mampu ternyata mengantongi SKTM.

Memang, dana BOS tidak untuk membiayai seluruh anak dan seluruh kebutuhan sekolah anak. 

Artinya, kebutuhan dan perlengkapan sekolah anak, pembiayaan dan pendanaan peningkatan mutu sekolah, masih dibebankan kepada pihak orangtua melalui komite sekolah. 

Inilah yang membuat orang tua mengeluh. Belum lagi adanya pungutan-pungutan dan iuran yang tidak diterima oleh sebagian orangtua siswa di sekolah sehingga mereka menyebut tahun pelajaran baru identik dengan uang.

Tahun Pelajaran Baru 2013/2014 ini perlu disikapi dengan kesederhanaan oleh siswa maupun orangtua, tidak terkecuali oleh pihak sekolah.

Bagi siswa, permulaan tahun pelajaran itu tidak mesti dengan perangkat sekolah yang serba baru. 

Hal ini mengingat kondisi ekonomi keluarga apalagi permulaan tahun ajaran pelajaran baru berdekatan dengan bulan puasa Ramadhan 1434 H.

Siswa yang berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah perlu mengerti keadaan orangtua.

Jika ada perlengkapan sekolah, seperti pakaian seragam, tas, buku, sepatu, tahun lalu yang masih layak, tak ada salahnya dipakai saja terlebih dulu. 

Yang penting kita tetap bisa bersekolah untuk menggapai cita-cita yang masih diujung pena.

Kesederhanaan oleh orangtua bisa jadi mengurangi pengeluaran-pengeluaran yang tidak begitu penting asal anak-anaknya tetap sekolah. 

Sementara kesederhanaan pihak sekolah dan komitenya, tidak membuat program yang muluk-muluk.

Sebaliknya menyusun program yang “masuk akal” namun efektif dan sesuai dengan kondisi perekonomian masyarakat dimana sekolah berada.

Kalaupun tahun pelajaran baru identik dengan uang. Anak-anak tidak boleh putus sekolah. Mereka harus melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan berikutnya.

Paling tidak mereka tamatan SMU/Sederajat. 
Orangtua perlu memiliki semangat juang yang tinggi untuk meneruskan pendidikan anak.

Pihak sekolah perlu mengerti kondisi perekonomian masyarakat di sekitarnya. Semoga!***